Tuesday, December 4, 2012

Balada Anak Ikan

Seekor anak ikan berenang-renang, lincah menyeruak dari balik karang, melawan arus yang datang. Tawanya pun lepas, saat ia membiarkan dirinya terhempas oleh arus nan deras.

Anak ikan selalu berenang cepat, menembus ombak, melompat di permukaan, di antara kail pancing dan jala nelayan, meresapi udara bebas di atas sana. Nadi kegembiraan berdenyut kencang, semua membahagiakan.

Tak ada yang salah dalam hidupnya, tak ada yang kurang, semua tantangan ia putar balikkan untuk bersenang-senang. Anak ikan baik-baik saja. Paling tidak itu yang di ada di pikiran yang lain sesama ikan.

Namun di malam hari, di balik terumbu dan di tengah kegelapan, anak ikan terisak pelan. Sepelan mungkin hingga tak ada yang kan mendengarnya. Ia kesepian.

Tak ada ayah ikan, tak ada ibu ikan. Anak ikan sendirian. Ia tak pernah paham mengapa ayah dan ibu ikan meninggalkannya, tanpa pernah memberi kesempatan kepada anak ikan untuk mengenal orangtua ikan. Tak ada yang dapat memahaminya, tidak paman ikan, tidak bibi ikan, tidak pula saudara-saudara ikan.

Pun tak ada yang peduli saat anak ikan yang kerap berenang di hadapan kerang mutiara, mengajak bicara pantulan wajahnya di tubuh kerang. Tak ada yang paham mengapa anak ikan lebih memilih bermain di permukaan, dekat jala nelayan, daripada hidup aman di terumbu karang. Tak ada juga yang mengerti bagaimana dayungan kencang siripnya saat anak ikan bermanuver melawan arus atau di tengah kawanan ikan... Tak ada yang tahu, dan tak ada yang perlu tahu, kesedihan dan isak kesepian anak ikan.

Karena bagaimanapun malam tak pernah abadi. Sinar matahari selalu datang setiap pagi. Dan anak ikan kembali bangkit, berenang cepat, menembus ombak, melompat di permukaan, demi menghirup segarnya udara di atas lautan. Semua membahagiakan, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Paling tidak begitulah pemikiran yang lainnya sesama ikan. Meski si anak ikan sendirian.

Saturday, November 10, 2012

Sentilan Berharga: Kisah Sopir Lansia dan Pemuda

Setiap hari, di manapun kita berada dan apapun yang kita lakukan, selalu memberi pengalaman bagi kita, bahkan tak jarang memberikan sentilan berharga. Seperti juga yang saya alami, di suatu malam, dalam perjalanan pulang dari kantor. 

Seperti biasa, saya menggunakan mikrolet untuk menuju tempat tinggal saya, dan duduk di kursi navigator alias sebelah sopir. Waktu itu saya hanya satu-satunya penumpang dan mikrolet sedang ngetem. Dengan melirik sedikit saja, saya bisa melihat pak sopir sudah berusia lanjut. Hampir semua rambutnya telah memutih, kerutan terlihat di kulit wajah dan lehernya, serta mulutnya agak seperti Pak Tile karena sebagian giginya telah ompong. Sesekali ia menarik tali yang tergantung di sisi kanannya, yang ternyata adalah klakson, untuk memanggil penumpang, namun tetap tak ada penumpang lain yang menaiki mikroletnya, ia pun mulai menginjak gas. Baru maju beberapa meter, seorang pemuda berusia 20 tahunan menstop mikrolet. 

"Akhirnya ada penumpang lain, semoga terus bertambah di perjalanan nanti, kasihan pak sopir ini kelihatannya sudah lelah," panjat saya dalam hati. 

Tetapi hal berikutnya yang terjadi mengecewakan saya.

"Beh, maaf Beh, saya numpang ya, saya kehabisan ongkos," kata si pemuda. 

 Pak sopir kemudian bertanya ke mana tujuan si pemuda, dan ternyata ia akan ke sebuah mall yang ongkosnya seharusnya Rp 3000. Pak sopir pun hanya mengiyakan pelan. Dalam hati saya mengumpat pemuda ini, dari sekian banyak mikrolet, kok ya tega ia menumpang di mikrolet yang sopirnya sudah tua. Saya juga langsung berpikir buruk, curiga jangan-jangan si pemuda memang penipu atau uangnya sudah habis untuk hal yang tidak perlu. Beruntung, dalam perjalanan ada beberapa penumpang lain yang memenuhi mikrolet, sehingga saya bisa agak berpikir positif kalau pak sopir tak akan merugi. 

Setelah perjalanan kurang lebih 25 menit, mikrolet pun sampai di depan mall yang dituju si pemuda. Saya hanya melirik melalui spion untuk melihat ia turun dari mikrolet dan mengucapkan terima kasih ke pak sopir. Tiba-tiba pak sopir berteriak memanggil pemuda yang sudah melangkah ke arah jalan kecil di sisi mall. 

"Ini untuk ongkos," kata pak sopir sambil memberikan Rp 2000 ke si pemuda, "Kasihan kan kehabisan uang." 

Pemuda itu langsung berterima kasih, sementara saya cengo', tak percaya dengan apa yang baru saya lihat dan saya dengar. Pelupuk mata saya mulai terasa panas, dan hati saya seperti tercampur aduk antara perasaan terharu dengan kebaikan dan ketulusan pak sopir, serta perasaan tertohok. 

Ya, saya merasa seperti ditampar, pak sopir lansia yang hidupnya mungkin sekali pas-pasan dan harus bekerja ekstra keras untuk hidup layak, malah dengan ikhlas menyisihkan penghasilannya untuk seorang pemuda yang entah siapa. Sementara saya, tak hanya saya menaruh curiga terhadap si pemuda, saya bahkan tidak kepikiran untuk menolong pemuda itu!

Mungkin bukan cuma saya, mungkin ada juga di antara kita yang kadang berpikir terlalu banyak sebelum menolong orang, curiga, perhitungan, menimbang kemampuan kita, hingga akhirnya kita tidak berbuat kebaikan apapun. Jika seorang pak sopir yang hidupnya mungkin tak bisa dibilang berkecukupan bisa membantu penumpangnya, maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak dapat berbagi dengan orang lain yang memerlukan uluran tangan.

Friday, October 5, 2012

Stand Up and Tell The Truth

"What are you supposed to do when the ones with all the power are hurting those with none?

Well, for a start, you stand up. Stand up and tell the truth. 
You stand up for your friends. You stand up even when you’re alone. 
You stand up." 

(Taken from the movie "North Country", 2005)
 
 

Mellow Yellow

Seorang teman datang, menangisi cinta lamanya yang memilih untuk menghilang, berpikir tak akan ada lagi cinta di masa depan..

Teman lain datang, menangisi ikrar yang telah terucap, bukan dengan cinta sesungguhnya dan hanya sebuah seremoni berbalut kebohongan..

Sepertinya cinta selalu memilih jalannya sendiri. Tak ada yang tahu apa yang menanti di masa depan. Namun saat ia memilih pergi, mungkin memang sudah selayaknya ia menghilang, supaya kamu dapat memberi lebih banyak cinta pada dirimu sendiri.. Sebaliknya saat ia datang, meski tak terlihat dan justru timbulkan luka, ia akan berdiam dan tumbuh perlahan jika saja kamu memberi ruang..



Thursday, September 27, 2012

Bhinneka Tunggang Langgang

Kalau saja manusia bisa meresapi indahnya perbedaan... dan kekayaan abstrak yang diberikannya..

Provokasi. Penolakan. Bentrokan. Kekerasan. Perusakan. Pembunuhan. Pemboman. Semua seolah menjadi santapan sehari-hari. Semua membuat miris, dan saya hanya bisa meringis, melihat kekejaman yang begitu marak di bumi yang kian renta. 

Yang lebih membuat hati teriris, adalah fakta bahwa tidak sedikit dari semua peristiwa itu dipicu oleh perbedaan, atas unsur status sosial, suku, ras, atau agama, bahkan perbedaan keyakinan dalam agama yang sama. Akibatnya, sesama saudara saling menyerang, sesama manusia bersaing menabuh genderang perang.
Mengapa begitu mudah manusia diperdaya kisah bahwa mereka salah dan kitalah yang paling benar?

Mungkin saja saya salah dan sesat, tetapi saya berprinsip, semua agama menuju pencipta yang sama, semua suku dan ras berasal dari karuhun yang sama, Adam dan Hawa, baik itu pengusaha atau pengemis, petani atau PKI, mata sipit atau bertato di kulit, atheis atau rohis, sekuler dan hedonis, semua diciptakan sosok yang sama, dan akan kembali ke alam baka. Jadi siapa kamu, siapa saya, siapa kita, siapa mereka, yang membusungkan dada menunjuk orang lain sebagai yang tercela, agama lain sebagai yang ternoda, suku dan ras lain sebagai yang paling berbisa?

Ironis, perbedaan kini kian meruncing di negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang katanya berbeda-beda namun satu jua. Omong kosong! Percuma Bhinneka Tunggal Ika terbelit di kaki garuda, karena kenyataannya Bhinneka Tunggal Ika sudah lari tunggang langgang, mengubur diri dalam-dalam, letih dicaci dan dilecehkan.

Kalau saja manusia bisa meresapi indahnya perbedaan... dan kekayaan abstrak yang didatangkannya...



Menggali Gali Digali

Gali digali
Jelang akhir tahun anggaran, semua digali
Jalanan, trotoar, hingga selokan ikut digali

Gali digali
Tidak jelas untuk apa semua digali
Jangan-jangan untuk menambah pundi-pundi
Demi gengsi dan kenikmatan duniawi

Gali digali
Sayangnya mereka tak sadar bahwa yang sedang digali
Adalah lubang kubur mereka sendiri

Tuesday, September 18, 2012

Drama Rumahan: Orangtua Bagi Orang Tua

Setiap kali saya mudik ke Bandung, saya menyempatkan diri untuk memandikan Oma. Maklum, di umurnya yang akan menginjak 85 tahun Februari 2013 nanti, Oma sering pusing dan fisiknya pun tak sekuat dulu lagi untuk mandi sendiri. Alhasil, Oma hanya mandi dan keramas kalau salah satu dari anak atau cucunya sempat memandikannya. Di samping itu, Oma memang suka malas mandi belakangan ini, ada saja alasannya untuk tidak mandi.
Saya: "Oma, mau mandi?"
Oma: "Nanti dulu lah, masih kepagian, dingin.."

Tetapi di siang harinya...
Saya: "Oma, mau mandi?"
Oma: "Ga kesiangan ini mandi jam segini?"

Awalnya Oma sering malu karena merasa telah merepotkan dengan harus dimandikan. Namun lama-lama Oma mulai terbiasa. Rambut putihnya tergerai mengkilap, punggungnya yang telah membungkuk bertopang pada dua tangannya yang menapak di pinggir bak mandi, dan sesekali ia tertawa setiap saya melontarkan pernyataan yang memang ditujukan untuk menghiburnya. Namun bukan hanya tawa, acara memandikan Oma juga selalu diwarnai genangan air mata di pelupuk mata saya.

Seperti saat saya kecil, mandi adalah waktu yang paling tidak saya nantikan, tetapi saat sedang dimandikan, saya merasa sangat rileks, bebas berekspresi, dan bahkan tak ingin keluar dari kamar mandi. Begitupun Oma, dia suka curhat saat dimandikan. Pernah suatu ketika Oma menangis sesenggukan karena ia merasa sedih, merasa tidak berguna dan sering lupa, sering teledor, sering membuat kesal tante saya. Segenap kekuatan saya kerahkan untuk menahan air mata ini jatuh, dan tetap mencoba meyakinkannya bahwa semuanya itu wajar, dan kami semua menyayanginya.

Tetapi di kesempatan lain memandikan Oma, walaupun tak ada cerita sedih yang keluar dari mulutnya, setiap kali memandikannya saya selalu berusaha keras untuk tidak menangis. Saya terharu, 30 tahun lalu, Omalah yang berada di posisi saya, memandikan saya, dan memberi saya kata-kata yang menenangkan di saat saya sibuk ngecablak tentang apapun yang saya rasakan di masa kanak-kanak itu. Kini, segala sesuatunya terbalik, saya yang mengguyur air di tubuhnya, menghandukinya, dan memakaikan bajunya.

Dunia sungguh berputar, semua akan kembali seperti semula. Dan suatu saat kita berkewajiban menjadi orangtua bagi orang yang telah membesarkan kita.