Seekor anak ikan berenang-renang, lincah menyeruak dari
balik karang, melawan arus yang datang. Tawanya pun lepas, saat ia membiarkan
dirinya terhempas oleh arus nan deras.
Anak ikan selalu berenang cepat, menembus ombak, melompat di
permukaan, di antara kail pancing dan jala nelayan, meresapi udara bebas di
atas sana. Nadi kegembiraan berdenyut kencang, semua membahagiakan.
Tak ada yang salah dalam hidupnya, tak ada yang kurang,
semua tantangan ia putar balikkan untuk bersenang-senang. Anak ikan baik-baik
saja. Paling tidak itu yang di ada di pikiran yang lain sesama ikan.
Namun di malam hari, di balik terumbu dan di tengah
kegelapan, anak ikan terisak pelan. Sepelan mungkin hingga tak ada yang kan
mendengarnya. Ia kesepian.
Tak ada ayah ikan, tak ada ibu ikan. Anak ikan sendirian. Ia
tak pernah paham mengapa ayah dan ibu ikan meninggalkannya, tanpa pernah
memberi kesempatan kepada anak ikan untuk mengenal orangtua ikan. Tak ada yang
dapat memahaminya, tidak paman ikan, tidak bibi ikan, tidak pula saudara-saudara
ikan.
Pun tak ada yang peduli saat anak ikan yang kerap berenang
di hadapan kerang mutiara, mengajak bicara pantulan wajahnya di tubuh kerang. Tak
ada yang paham mengapa anak ikan lebih memilih bermain di permukaan, dekat jala
nelayan, daripada hidup aman di terumbu karang. Tak ada juga yang mengerti bagaimana
dayungan kencang siripnya saat anak ikan bermanuver melawan arus atau di tengah
kawanan ikan... Tak ada yang tahu, dan tak ada yang perlu tahu, kesedihan dan
isak kesepian anak ikan.
Karena bagaimanapun malam tak pernah abadi. Sinar matahari
selalu datang setiap pagi. Dan anak ikan kembali bangkit, berenang cepat,
menembus ombak, melompat di permukaan, demi menghirup segarnya udara di atas
lautan. Semua membahagiakan, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Paling tidak
begitulah pemikiran yang lainnya sesama ikan. Meski si anak ikan sendirian.